الخميس، 27 ديسمبر 2012

3 Misteri Dibalik Nilai Anak Yang Hancur

3 Misteri Dibalik Nilai Anak Yang Hancur

Berikut ini adalah artikel yang berfokus pada pola dan masalah belajar anak. Banyak sekali pertanyaan tentang hal ini yang muncul di website kami, berkaitan mengenai masalah belajar anak. Kita akan memahami dan belajar tentang faktor psikologis mengapa anak bermasalah dengan nilai di sekolah. Sebelum kita lebih jauh berinteraksi, pahami bahwa nilai atau angka(simbol) bukan satu-satunya penentu kesuksesan anak kelak di masa depan. Semua yang dialami saat dia sekolah akan banyak yang tidak digunakan kelak, jadi model pendidikan apa yang akan digunakan seorang anak hingga dia dewasa dan dapat diwariskan? Ya, didiklah karakternya dan tanamkan kesuksesan sejak awal di ladang karakternya.
Kenapa seorang anak ketika belajar di rumah bisa, diberi soal lebih susah daripada di sekolah juga bisa, bahkan waktu di tempat les dia diberi latihan soal yang banyak juga bisa, meskipun soalnya lebih sulit juga bisa, tetapi ketika ulangan tiba-tiba nilainya jelek. Nah apakah anda pernah punya masalah seperti ini? Anda yang punya anak SD, pasti sering mengalami masalah-masalah seperti ini. Anda pasti merasa jengkel ketika mengetahui bahwa anak anda yang tadi malam belajar sudah bisa semua, tapi ketika ulangan ternyata ulangannya dapat nilai jelek. Jika ini terjadi sekali dua kali mungkin anda bisa memakluminya, tapi jika ini terjadi berulang kali, anda pasti mulai jengkel pada anak anda. Bahkan bisa jadi anda frustasi dan kemudian malah mengeluarkan kata-kata negatif.
Nah apakah yang terjadi dibalik masalah ini. Seorang anak yang bisa sewaktu mengerjakan soal di rumah dan kemudian gagal waktu dia ulangan. Untuk hal-hal yang sama dan itu berulang kali, maka ada tiga hal yang perlu anda waspadai:

1. Anda perlu curiga bahwa anak ini mengalami kecemasan yang tersembunyi
Anda pasti bertanya nggak mungkin? dia cemas dari mana….kenapa koq dia cemas?
Kecemasan yang tersembunyi ini disebabkan oleh banyak faktor. Ya, jadi bisa jadi tuntutan yang terlalu tinggi dari kita orang tua atau mungkin bahkan dari gurunya. Tuntutan ini tidak bisa membuat si anak menunjukkan kwalitas optimalnya. Sehingga ketika ulangan,yang terbayang adalah ketakutan bahwa dia tidak bisa memenuhi tutuntan dari si orang tua. Atau tuntutan dari gurunya mungkin. Nah anda tahu, Ketika kita itu cemas maka kita tidak bisa berpikir secara jernih.Anda tentu pernah mengalaminya bukan? ketika anda sedang cemas, sedang stres berat. Maka hal yang sepele tentunya bisa jadi terlupakan. Nah ini yang terjadi pada anak-anak kita. Mereka cemas karena tuntutan kita yang terlalu tinggi,atau keharusan untuk menguasai sesuatu.
Ketika mereka merasa tidak mampu,kecemasan itu menghantui pikirannya. Dan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya tiba-tiba “blank”, pada saat ulangan. Ini juga sering terjadi pada kita. Ingatkah anda pada saat dulu anda kuliah? Mungkin masih SMA bahkan? Ketika kita ulangan tiba-tiba saja mendadak lupa akan jawaban yang harus kita tuliskan disana. Padahal tadi malam jelas-jelas kita sudah belajar, hal tersebut. Nah ketika kita menghadapi ulangan tiba-tiba saja hilang jawabannya. Apalagi ketika sang guru atau dosen mengatakan 5 menit lagi anda harus mengumpulkan,dan waktunya habis. Oke, makin kita paksa akhirnya kita stress dan akhirnya kita lupa. Dan anehnya ketika kita sudah mengumpulkan lembar jawaban, keluar dari ruang ujian tiba-tiba jawabannya muncul dalam pikiran kita. “ahh..” kenapa tidak dari tadi munculnya, anda pasti menggerutu pada diri anda sendiri. Anda pernah mengalami hal itu bukan?
Nah ini yang terjadi pada anak-anak kita. Jadi ketika mereka ulangan,maka sebaiknya jangan sampai mereka itu cemas. Tuntutan – tuntutan kita membuat mereka cemas. karena itu kita perlu instropeksi diri, apakah selama ini kita sudah menerima mereka apa adanya. Ya,kebanyakan dari kita berharap agar nilai mereka bagus. Tapi begitu nilai mereka jelek, kita mulai menuntut mereka. “Kenapa sih nilai kamu koq jelek?” Jarang sekali ada orang tua yang mengatakan, “oh iya saya bisa memahami kamu na, Apa yang mama/papa bisa bantu agar lain kali nilaimu lebih bagus lagi”. Jadi ketika seorang anak mempunyai nilai jelek, hal yang kita perlu lakukan adalah memahami dulu perasaannya. Saya yakin anak itupun tidak ingin nilainya jelek, bukan hanya kita. Diapun juga tidak ingin nilainya jelek tentunya. Tapi kenyataan yang dihadapi lain.
Ketika nilainya sudah jelek, dia sedih tetapi kita malah memarahi dia. Dia akan merasa bahwa dirinya tidak dipahami dan tidak dimengerti. Di lain hari kecemasan itu muncul dalam dirinya. Dia akan merasa, “aduh kalau saya jelek lagi saya pasti dimarahi lagi”, “saya pasti mengecewakan mama saya”. Pernah ada satu kasus dimana seorang anak tidak mau berangkat sekolah gara-gara hari itu ada ulangan. Dia mengatakan pada mamanya saya takut ma, “kenapa takut?” Tanya mamanya. “saya takut mengecewakan mama kalau nilai saya jelek”. Dan ini dilontarkan oleh seorang anak kelas 2 SD. Nah,dari kejadian tersebut sang mama belajar bahwa selama ini, dia sering berkata “mama nga masalah dengan nilai mu”. Tetapi kenyataannya dia membuat anaknya cemas. Jadi terkadang kita sebagai orang tua hanya mengatakan, “nggak.. nilai berapapun saya nggak masalah koq”. Tapi ternyata itu hanya di mulut saja. kenyataannya si anak merasakan hal yang berbeda, dia merasakan tuntutan orang tua yang terlalu tinggi.
Nah, untuk masalah ini sebaiknya kita perlu koreksi diri bagaimana caranya kita menerima seorang anak apa adanya, tidak tergantung dari nilainya. Ingat sebenernya nilai itu hanya mengindikasikan dia sudah bisa atau belum.Berbahagialah ketika nilai anak anda jelek. Karena apa? sekarang anda tahu mana yang dia itu belum bisa. Pembelajaran yang baik harusnya ditujukan untuk meningkatkan seorang anak sehingga ia bisa kompeten di dalam bidangnya. Bukan untuk melabel dia pintar atau bodoh.

2. Sebab yang lain adalah karena perlakuan-perlakuan negatif yang pernah di terima seorang anak bisa di rumah, bisa di sekolah.
Misalnya, ketika seorang anak nilainya jelek, kemudian kita marah-marahin dia, bahkan mungkin di hukum. Suruh berdiri di pojok, nggak boleh makan. Atau apapun yang kita bisa lakukan untuk itu. Nah ketika dia menerima perlakuan itu,maka perlakuan itu akan membekas di memorinya. Berikutnya ketika dia ulangan lagi di lain kesempatan maka yang dia liat di lembar soalnya bukan soal yang harus dibaca, tetapi wajah orang tuanya yang sedang marah. Wajah ini tiba-tiba saja muncul terbayang di dalam pikirannya. Anda bisa bayangkan jika kita berhadapan dengan soal ujian dan kemudian yang muncul adalah ketakutan membayangkan wajah orang tua yang sedang marah, karena kita tidak bisa. Atau mungkin wajah guru yang memalukan kita di depan teman-teman kita. Maka semua yang kita pelajari tiba-tiba saja menjadi hilang dan akhirnya ulangannya jelek.
Baiklah, jika ini terjadi sebaiknya anda perlu segera minta maaf pada anak anda. Anda cukup mengatakan, “tempo hari waktu ulangan kamu jelek,dan kemudian papa atau mama marah sama kamu saat itu perasaan kamu bagaimana?” apapun yang di jawab oleh anak anda terima apa adanya. Misalkan dia menjawab, Saya takutlah, saya merasa ini itu apapun itu anda tinggal ngomong “Oke Maaf, papa mungkin saat itu keceplosan ngomong. Atau mungkin saat itu mama lepas control sehingga memarahi kamu terlalu dalam. Tapi sebenernya maksud mama sangat baik. Kamu mau nggak maafin mama? Mama lain kali janji akan mendukung kamu jika nilai kamu jelek, kita akan cari solusinya sama-sama dan kamu boleh tanya sama mama bagaimana supaya jadi nilainya baik. Kamu pasti kepengen nilai kamu juga baik juga kan?” Nah, itu tentunya jauh lebih baik bagi si anak. Daripada kita hanya sekedar memarahinya, memintanya belajar, memaksanya belajar tanpa sama sekali mengakui perasaannya untuk diberi kasih saying dan untuk di terima apa adanya.

3. Sebab yang lain adalah kurangnya perhatian berkualitas.
Mungkin anda bertanya, “ah mana mungkin saya tidak memperhatikan anak saya”. Betul,saya percaya dan yakin bahwa setiap orang tua pasti memperhatikan anaknya.Tetapi terkadang perhatian yang kita berikan itu tidak cocok dengan apa yang diinginkan oleh si anak, yang saya maksud dengan perhatian di sini adalah perhatian yang berkuwalitas. Dalam arti kita memperhatikan juga perasaan-perasaan si anak. Bukan Cuma memperhatikan tugas-tugas yang dia harus slesaikan. Kebanyakan dari kita hanya memperhatikan tugas –tugas yang harus di selesaikan oleh seorang anak. Kita hanya memperhatikan kamu sudah ngerjakan PR belum? kamu sudah belajar belum? pensil kamu sudah diraut belum? Besok kalau ulangan kamu sudah siapkan pensil atau bolpointnya? Buku kamu sudah kamu siapin belum? kita hanya memperhatikan aspek-aspek fisik. Kita tidak memperhatikan aspek-aspek perasaan dari si anak.
Padahal yang jauh lebih dibutuhkanseorang anak adalah perhatian akan perasaan-perasaannya sehingga dia bener-bener di terima secara utuh oleh orang tuanya. Anda bisa memberikan perhatian berkuwalitas ini dengan lebih baik, dengan cara membaca artikel saya yang berjudul “Pentingnya Memahami Kebutuhan Emosional Anak”. Itu adalah salah satu cara terbaik untuk memberikan perhatian berkualitas pada anak Anda.

Langkah Awal Dalam Pendidikan Karakter

Langkah Awal Dalam Pendidikan Karakter

Komitmen merupakan langkah awal jika ingin memiliki karakter yang baik, tetapi komitmen seperti apa yang dibutuhkan untuk mensukseskan pendidikan karakter? Yaitu disiplin terhadap pendidikan karakter itu sendiri. Kali ini kita akan membahas dari sudut pandang sekolah.
Suatu ketika saya sempat mempresentasikan tentang pendidikan karakter dan dampaknya terhadap guru dan karyawan sekolah. Saya dan rekan sengaja menyeting agar lingkungan sekolah menjadi padu dengan isu pendidikan karakter yang akan didengungkan oleh sekolah yang bersangkutan. Saat saya menjelaskan tentang peraturan sekolah dan peraturan kelas, terlihat muka yang kurang nyaman, serta respon yang kurang antusias, serta air muka yang seakan berbeban berat menyikapi pelaksanaan pendidikan karakter.
Dan ditengah-tengah acara saya menjelaskan agar sekolah tidak perlu terburu-buru melakukan perombakan besar dalam aturan sekolah. Saya sangat memahami beban guru dalam mengajar dan kegiatan administrasinya, lakukan step by step yang penting ada komitmen dalam pelaksanaannya dan peliharalah disiplin sebagai motor penggerak pendidikan karakter itu sendiri, itu kuncinya. Disiplin, disiplin dan disiplin.

Sekilas saya jelaskan disiplin orang yang hidup di Indonesia dengan dua musim, berbeda dengan negara yang hidup dengan empat musim. Ketangguhan, daya juang dan inisiatif juga berbeda. Kita di Indonesia adalah wilayah yang tantangan secara alamnya cukup sedikit dibandingkan dengan mereka yang hidup di empat musim. Karena salah satu faktor inilah kita perlu belajar disiplin lebih lagi untuk kehidupan yang lebih baik. Disiplin sangat erat dengan kesuksesan, bahkan disiplin ada dalam satu paket dengan kesuksesan. Apapun yang hendak dicapai dalam kesuksesan itu disiplin adalah dasarnya. Bahkan ukuran disiplin sudah diformulasikan secara rinci oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier, bahwa butuh 10.000 jam kedisiplinan untuk menjadi master dalam bidang apapun. Penyanyi, atlet, profesional di bidang bisnis yang sukses telah melewati proses 10.000 jam. Dan anda tahu siapa saja yang telah menjadi master di bidangnya bukan? Sebut saja, Ruth sahayana, Taufik hidayat, Agnes Monica, Purwacaraka, Juna, Rifat Sungkar, Chairul Tanjung, Hermawan Kertajaya dan masih banyak sekali tokoh yang bisa disebut master di bidangnya masing-masing.
Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh secara nyata jika ada hanya sebatas proses pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat informasi tanpa adanya tindakan. Dewasa ini di media cetak, elektronik dan media internet banyak memberitakan tentang kasus jual beli kunci ujian, contek mencontek, plagiatisme, bahkan kasus kriminal yang dilakukan oleh pelajar, itu semua menunjukan bahwa nilai realisasi karakter bangsa tidak terwujud nyata. Fenomena ini muncul akibat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Faktor yang mempengaruhi antara lain :
  1. Rendahnya sarana fisik
  2. Rendahnya kualitas guru
  3. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
  4. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
  5. Visi dan moralitas pendidik serta anak didik yang rendah
  6. Mahalnya biaya pendidikan Memang menjadi masalah serius di negeri ini
Anggaran pendidikan yang sudah tinggi tidak menjamin sarana fisik yang baik dan biaya pendidikan yang terjangkau, penyebabnya jelas moralitas masyarakat yang mementingkan golongan, kepetingan pribadi dan mendapat keadaan yang tepat.

Keenam halangan ini hanya bisa hilang jika nilai luhur dan pendidikan karakter benar-benar terealisasikan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal berkaitan dengan permasalah diatas kiranya diperlukan suatu terobosan di dunia pendidikan untuk menciptakan generasi muda yang berkarakter dan berprestas tinggi. Untuk mencapai itu diperlukan inovasi dan pengembangan nilai disiplin serta komitmen dari setiap perangkat sekolah agar pendidikan karakter bisa terus berjalan. Dampak dari pendidikan karakter dapat membangun individu untuk mengenali dirinya sendiri dan mampu menetapkan tujuan pendidikannya.
Pendidikan karakter sebenarnya sudah ada sejak dulu seperti apa yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara melalui Among Metode, dimana ada tiga unsur pendidikan yang harus berjalan sinergis yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan Among Metode diharapkan anak akan tumbuh sesuai kodrat (naturelijke groei) dan keadaan budaya sendiri (cultuur histories). Sehingga ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen dan konsentris (Ki Hajar Dewantara). Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri, dan semua ini dapat dimulai dari kita semua. Sudahkan anda berkomitmen terhadap hal ini?
Sebagai informasi tambahan, kami memberikan E-book Gratis 6 Cara Mendisiplinkan Anak yang dapat anda pelajari agar kita semua dapat memaksimalkan pendidikan karakter di negara kita dan ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik serta mewarisikan hal terindah bagi anak cucu kita.

Menanamkan Pendidikan Karakter Bangsa Adalah Suatu Prioritas

Menanamkan Pendidikan Karakter Bangsa Adalah Suatu Prioritas

Mendidik karakter adalah bahasan unik, mengapa unik? Karena bahasan ini bisa “lari” kemana-mana bila kita membahas tentang manusia. Dan masalah tentang manusia adalah pekerjaan yang tidak ada habisnya, dari manusia lahir hingga meninggal banyak kejadian ajaib serta memalukan terjadi dalam kehidupannya.
Manusia adalah faktor penting dalam menciptakan kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dan sejahtera itu dapat dibentuk dan diciptakan. Pertanyaannya bagaimana membentuknya?
Bentuklah dari kebiasaan. Sebagai contoh, di Hong Kong kepadatan lalu lintas tidak seruwet di Jakarta, bahkan cenderung sepi dan lenggang. Dengan penduduk sekitar 8,8 juta lalu lintas kendaraan di Hong Kong termasuk lenggang, bahkan hari-hari sibuk juga lenggang. Apa orang hongkong tidak memiliki kendaraan? Tidak, ternyata di Hong Kong ada 2 kehidupan, kehidupan di dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia yang saya maksudkan lenggang, tetapi dunia bawah adalah jalur subway atau kereta bawah tanah.
Jelas lebih padat aktifitas transportasi di dunia bawah. Hampir semua penduduk Hong Kong menggunakan fasilitas ini. Walaupun padat, tetapi meraka sangat teratur. Keluar melalui pintu samping kanan dan penumpang masuk melalui pintu samping kiri, rapi dan teratur. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ternyata ini adalah proses dari pembiasaan, hal ini sudah di biasakan sejak anak di sekolah dasar, sekolah mengajarkan keteraturan-keteraturan ini sejak usia dini. Mereka dibiasakan untuk melakukan ini, sehingga kelak mereka terbiasa. Para pembaca sekalian, anda tahu berapa waktu yang di butuhkan untuk membentuk karakter seperti ini? Apakah 6 bulan? 1 tahun? Ini butuh proses yang cukup lama dan perlu dibudayakan.
Indonesia memiliki nenek moyang yang ramah tamah dan sangat santun dalam berelasi dengan sesama dan kehidupan kesehariannya. Tetapi mengapa hingga ke belakang (saat ini), nilai itu pudar semua? Australia, suku asli Aborigin, mereka jauh tidak beradap dan jauh lebih brutal dari nenek moyang kita, tetapi kini mereka masuk dalam kategori negara yang sangat teratur dan tingkat kehidupan yang cenderung makmur. Ungkap seorang kawan yang bercerita kepada saya. Teringat juga saya ketika rekan saya lebih tepatnya dosen pembimbing skripsi saya saat pulang dari Australia dan kita bertemu di tahun 2012. Dia bercerita, saat terjadi banjir yang melumpuhkan Brisbane, dosen saya termasuk orang yang beruntung karena dia tinggal di flat yang agak tinggi dan tidak perlu mengungsi. “Orang disana tidak egois, rumah yang masih ada penghuninya saling di datangi, entah mereka kenal apa tidak. Mereka ketok setiap pintu mereka tawarkan bahan makan dan selimut, bertanya apa yang kita butuhkan, mereka saling berbagi dengan mudahnya dan ikhlas”, “apakah itu petugas khusus penanganan bencana yang datang kerumah anda?” tanya saya, “bukan, itu adalah tetangga–tetangga saya yang senasib dengan saya, dan mereka tidak tinggal di pengungsian” merinding saya dengar cerita tersebut. Bagaimana mereka dapat hidup berdampingan seperti itu dan memperlakukan orang lain yang bukan asli Australia seperti itu, tanpa pamrih.
Seandainya kita bisa berlaku seperti negara tetangga kita, indahnya hidup dan kebersamaan ini. Hingga akhirnya saya diberi tahu suatu fakta yang membuat otak saya “kram” sesaat. Ternyata untuk mendidik dan menanamkan sikap seperti di negara tetangga kita itu butuh waktu minimal 16 tahun, secara kontinyu dan konsisten. Dan untuk mendidik anak baca dan tulis serta berhitung tidak lebih dari 6 bulan. Orangtua di Australia, tidak pusing jika anaknya belum bisa baca tulis, karena itu akan dikuasai dalam 6 bulan ke depan, tetapi sikap disiplin dan pembentukan karakter diterapkan sedini mungkin, mereka tahu itu lebih penting dari sekedar baca tulis diusia 3 -5 tahun.
Semoga hal ini bermanfaat, dapat membawa pencerahan dan kebaikan bagi negara kita, dan tetap semangat dan majulah pendidikan karakter di Indonesia.

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

Pendidikan

Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."[rujukan?]
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Fungsi pendidikan

Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
  • Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
  • Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
  • Melestarikan kebudayaan.
  • Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi laten lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
  • Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
  • Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
  • Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
  • Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
  • Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
  • Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
  • Menjamin integrasi sosial.
  • Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
  • Sumber inovasi sosial.